Google

Tips n Tricks

Tuesday, December 18, 2007

Pendidikan Seks untuk Anak

Pendidikan Seks untuk Anak



Oleh: Prof. Sarlito W Sarwono
Akhir-akhir ini masyarakat dicemaskan oleh makin maraknya perilaku seks yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan susila Timur. Dampaknya antara lain adalah meningkatnya kehamilan sebelum nikah, anak di luar nikah, aborsi, dan penyakit kelamin. Di tambah dengan narkotika, maka kendali perilaku seks makin hilang, bahkan seks bisa diperjual belikan untuk memperoleh narkotika.

Reaksi masyarakat/orangtua (termasuk para tokoh pendidik, ulama dan politisi) pada umumnya adalah meningkatkan pendidikan agama/perilaku keberagamaan dan menjauhkan anak-anak dari seks (mentabukan seks, termasuk pendidian seks).

Tetapi penelitian di manapun di dunia ini selalu menunjukkan bahwa pendidikan agama hanya bisa meningkatkan "amal maâruf" atau perilaku baik (makin banyak yang melakukan kebaikan: beribadah, bersedekah, menolong bencana dsb.), tetapi tidak bisa menghambat, apalagi menghapuskan "nahi mungkar" atau perilaku jahat (korupsi dan maksiat tetap berjalan terus, bahkan Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia). Aborsi misanya, jauh lebih tinggi di Indonesia dari pada di Swedia atau Belanda. Dengan perkataan lain, agama haya berkorelasi positif dengan kebaikan, tetapi tidak berkorealsi negatif dengan kejahatan (termasuk seks yang bertentangan dengan norma). Bahkan untuk anak Balita, pendidikan agama belum ada pengaruh apa pun, kecuali menghafal beberapa ayat.

Untuk mengatasinya, anak justru jangan dijauhkan dari seks. Seks adalah sesuatu yang alamiah dan sejak bayi sampai dewasa mengalir dalam darah setiap orang yang sehat jiwa-raganya. Karena itu menjauhkan anak dari seks akan sia-sia.

Bahkan akan membuat anak mencari-cari sendiri dan akhirnya menemukan jalan sesat, karena dia memperoleh informasi salah, atau bahkan sengaja disesatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (media pornografi, paedofilia, human traficker, pengedar Narkoba dll). Di sinilah diperlukan pendidikan seks.

Pendidikan seks, seperti semua pendidikan lainnya, juga berfungsi sebagai pengembangan nilai-nilai pada jiwa anak (khususnya nilai jender), karena seks berarti juga tata nilai pergaulan seperti: anak laki-laki tidak boleh mengajak berkelahi anak perempuan, anak perempuan harus menjaga kelakuannya agar dihargai oleh anak laki-laki, di tempat umum laki-laki dan perempuan menggunakan toilet terpisah, anak laki-laki tidak boleh cengeng, anak perempuan boleh minta tolong anak laki-laki untuk mengangkat yang berat-berat dsb. Di sisi lain anak laki-laki dan perempuan sama saja, keduanya harus rajin belajar agar jadi anak pandai, sama-sama harus rajin ibadah, sama-sama harus sayang sama papa-mama, kalau ada makanan harus dibagi rata dsb.

Ada dua prinsip pada pendidikan seks. Pertama, anak (terutama yang Balita dan yang berusia di bawah 10 tahun) belum punya konotasi porno tentang seks.

Pikirannya polos saja ketika dia menanyakan, misalnya, tentang perkosaan, atau kenapa pipisnya adiknya beda dari yang dia sendiri punya.

Orangtuanyalah yang kebingungan, sebab bagi orangtua “perkosaan” dan “anu” adalah seks, jorok, tidak pantas buat diberikan pada anak dll. Kedua, anak membutuhkan informasi dan panutan. Yang paling tepat untuk memberikannya adalah orangtua sendiri. Kalau anak mendapat jawaban yang jelas dan jujur dari orangtua, maka untuk seterusnya setiap ada masalah dia akan selalu bertanya kepada orangtuanya, dan orangtua selalu punya peluang untuk menanamkan nilai-nilai yang baik pada anaknya. Tetapi kalau orangtua tidak menjawab secara memuaskan (berbohong, menghindar, atau bahkan memarahi anak), anak akan berhenti bertanya kepada orangtua dan akan mencari sumber info lain, yang justru akan menyesatkan.

Untuk bisa menjadi pendidik seks yang baik orangtua perlu membuang tabu-tabu dari pikirannya dan belajar sebanyak mungkin tentang seks (baca buku, tanya pakar, ikut seminar dll), khususnya tentang hal-hal yang ditanyakan anak.

Misalnya, ketika anak menanyakan tentang anu, beritahu bahwa namanya penis atau vagina dan seterusnya pakai saja istilah ilmiah itu, tidak perlu diganti dengan euphemisme (burung buat laki-laki, atau dompet atau tempe buat perempuan), sehingga anak-anak terbiasa dengan istilah yang netral tanpa konotasi jelek. Jika anak Balita bertanya tentang perkosaan bisa dijawab bahwa artinya "perempuan disakiti atau dijahati oleh orang laki-laki". Pada umur Balita bukannya tidak boleh (tabu) menjelaskan lebih detil, melainkan tidak ada gunanya (mubazir) karena anak belum mampu memahaminya (anak malah tambah bingung).

Karena itu, kalau orangtua ragu-ragu menjawab (bukannya tidak tahu jawabnya, tetapi kurang yakin bagaimana menjawabnya), tanyakan saja dulu pada anak bagaimana atau apa yang dia tahu. Dari jawaban anak inilah orangtua bisa menakar jawaban yang pas. Tetapi kalau masih bingung juga, tidak perlu dijawab seketika. Bilang saja misalnya, "Nanti mama tanya papa dulu, ya. Nanti mama kasih tahu jawabannya". Yang penting janji ini harus dipenuhi, tidak boleh diingkari (pura-pura lupa), karena dampaknya anak bisa tidak percaya pada orangtuanya lagi (dalam hal pendidikan seks) untuk selama-lananya.

Akhirnya perlu dicatat bahwa tujuan pendidikan seks bukanlah menjauhkan anak-anak dari seks, atau membuat anak menjadi mahluk a-seksual, melainkan bisa membuat anak-anak itu memahami seks dan bisa “mengelola” dorongan seks yang mengalir dalam darahnya, agar memberi kesenangan dan kebahagiaan, sekaligus membuatnya terampil dalam bersosialisasi, namun sekaligus aman dan bertanggung jawab dan bebas dosa. Dengan perkataan lain, pendidikan seks diperlukan untuk merealisasikan sekaligus "amal maruf" dan "nahi mungkar" yang diajarkan agama.

No comments:

Kata-kata Hikmah..! Jelang Pemilu, Jangan Golput ! Di Pemilu 2009